Ibu itu mengasuh anak-anaknya sendirian sejak suaminya dipinjam
negara untuk dijadikan kelinci dalam percobaan sistem keamanan. Sampai
sekarang belum dikembalikan, padahal suaminya itu sebenarnya cuma
pemberani yang lugu dan kadang-kadang nekat. Toh ibu itu tak pernah
berhenti menunggu, meskipun menunggu adalah luka. Dan ia memang perkasa.
Menghadapi anak-anaknya yang nakal dan sering menyusahkan, ia tak
pernah kehilangan kesabaran.
Setiap subuh ibu itu memetik embun
di daun-daun, menampungnya dalam gelas, dan menghidangkannya kepada
anak-anaknya sebelum mereka berangkat sekolah. Malam hari diam-diam ia
memeras airmata, menyimpannya dalam botol, dan meminumkannya kepada
anak-anaknya bila mereka sakit.
Ia mendidik anak-anaknya untuk
tidak cengeng. Ia paling tidak suka melihat orang mudah menangis. Bila
anak-anaknya bertanya, "Mengapa Ibu tidak pernah menangis?", jawabnya,
"Biar kutabung airmataku buat hari tua. Bila kelak aku meninggal, kalian
bisa memandikan jenazahku dengan tabungan airmataku.”
Sehari-hari ibu yang penyabar itu berjualan awalan ber- di sekolah
partikelir yang hidup enggan mati tak mau. Sebagian besar muridnya bodoh
dan berandal, tapi ya bagaimana lagi, mereka tetap harus dicintai. Ia
rajin menasihati mereka agar tidak mudah putus asa, apalagi menangis,
menghadapi kegagalan. "Berlatih gagal itu penting," pesannya
berulang-ulang.
Tenaga dan waktunya praktis habis untuk urusan
rumah dan pekerjaan sehingga ia kurang hiburan. Satu-satunya hiburan
adalah menonton televisi yang sudah agak pucat gambarnya. Dan ia
penggemar televisi yang baik. Ia bisa sangat terharu menyaksikan kisah
yang menyayat hati, misalnya kisah tentang pejuang yang digugurkan
negara dan jenazahnya diselimuti kain bendera. Anak-anak ikut trenyuh
dan tersedu melihat ibu mereka diam-diam mengusap airmata. "Jangan
menangis!" bentak ibu yang tabah itu tiba-tiba. “Aku menangis hanya
untuk menyenang-nyenangkan televisi. Mengerti?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar